Jumat, 27 November 2009

Gadis Minang


Dalam Adat dan Budaya :

Artikel ini dibuka dengan suatu pepatah yang menunjukkan peran yang diemban oleh wanita minang, yang berbunyi :
Bundo kanduang
Limpapeh rumah nan gadang
Amban puruak pegangan kunci
Amban puruak aluang bunian
Pusek Jalo kumpulan tali
Hiasan dalam nagari

Sedangkan peran yang diberikan kepada Pria Minang, ditunjukkan pada pepatah yang berbunyi :
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari

Kedua pepatah ini tidak menunjukkan perbedaan, diskriminasi, apalagi dominasi wanita terhadap Pria sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan orang minang sendiri atau sebaliknya. Kedudukan Pria dan wanita didalam adat sama. Pria Minang merupakan komplemen terhadap wanita dalam pengertian bahwa hakekat dan spesifikasi Pria saling komplemen pula (mengisi) satu sama lain.

Realita kehidupan wanita Minang dalam keluarga/kekerabatan serta masyarakat di lambangkan dalam peran Bundokanduang. Bundo kanduang sebenarnya adalah sebagai wanita utama. Apabila dalam suatu kekerabatan atau tingkatan masih terdapat seorang ibu dari penghulu yang masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah wanita utama di dalam kaum itu.
Wanita yang disebut bundo kanduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Wanita-wanita setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan wanita utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, wanita utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.


Dalam Agama :
Adat bersendi syara` syara` bersendi kitabullah, maka berdasarkan kompilasi hukum, bila ingin dikatakan sebagai wanita Minang sejati, dimana seseorang yang status suku Minangkabu – sudah dipastikan konotasinya beragama Islam, maka masalah peran wanita – keperempuan atau peran padusi sewajarnya aturan Islam yang harus dilaksanakan.
QS Ab – Nisaa 1 : “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari seorang pribadi dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan pria dan wanita yang banyak, Dan bertakwalah kepada ALLAH yang dengan (mempergunakan) nama – Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selaku menjaga dan mengawasi kami”.
Agama Islam menyetarakan kedudukan antara Pria dan wanita. Dalam masalah pendidikan, Allah dan rasulNya menetapkan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Dalam masalah amalan ibadah, Allah membalasi segala amalan baik – sama antara Pria dan wanita, tidak dibedakan.
Dalam masalah fisik, Allah sudah menetapkan, dengan firmanNya “Tidaklah sama antara lelaki dan wanita”. Penciptaan manusia selanjutnya setelah Adam, lebih jauh dijelaskan secara iptek, berdasarkan ilmu genetika yang mudah dipahami dan dicerna oleh manusia. Benarkah , bila dikatakan bahwa isteri Adam diciptakan dari tulang rusuknya Adam ? Setelah itu keduanya mengembangkan keturunan mereka dan beranak pinak melalui proses pembuahan, yang pula berlaku untuk makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan.
Saling komplementer antara pria dan wanita digambarkan secara cantik oleh penyair Khalil Gibran, bahwa wanita terbuat bagian tubuh peria, bukan dari kepalanya untuk menjadi atasan pria, bukan dari kaki untuk menjadi bawahannya, melain dari tulang rusuk pria untuk menjadi pendamping hidupnya.

Bagaimanakah dalam masalah tanggung jawab menafkahi suatu rumah tangga ? Dalam masalah tangggung jawab nafkah, Allah telah memberikan kewajiban dan tanggung jawab dalam menafkahi rumah tangga, yaitu berada dipundak Pria. Pria wajib menafkahi isterinya lahir dan bathin, menurut hukum perkawinan agam Islam.

Namun bagaimanakah realita adat dan budaya minang tentang judul artikel ini ? Bisakan Pria dan Wanita Minang saling komplementer ?
Komplementer menunjukkan bagaimana Pria dan wanita bisa saling mengisi baik bidang sehari-hari atau kehidupan rumah tangga. Juga berperan dibidang sosial, bidang keilmuan, sebagaimana yang diharapkan oleh para aktivis wanita saat ini . Kelompok ini gencar memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita. Aliran dan faham yang mereka anut kemudian dikenal dengan sebutan “kaum feminisme”. Sesungguhnya feminisme itu ada beraliran radikal, marxis, liberal, moderat, atau feminisme yang menyandarkan diri pada hermeunitika keagamaan. Feminisme adalah bagian dari pola kehidupan moderen yang tengah mendunia (global style).

Bagi saya jika feminisme itu memang ada, maka semestinya tetap beranjak dari nilai-nilai agama dan cultural, bukan meniru secara membabi buta sebagaimana yang terjadi di negara-negara liberal yang kemudian diadopsi secara utuh oleh wanita Indonesia. ?

Sebagai wanita minang, apa yang diharapkan dengan saling berkeseimbangan dan saling melengkapi antara pria dan wanita agar judul artikel ini dapat direalisasikan ?

Contoh pertama ;

Dalam agama islam, masalah warisan, meski secara dhahir wanita mendapat kurang dari bagian lelaki, tetapi kalau dihitung-hitung, justru wanitalah mendapat lebih istimewa ketimbang lelaki. Berbeda halnya dengan penguasaan harta pusaka yang berada pada tangan wanita, menurut aturan adat minang. Contoh masalah satu ini tidak perlu diuraikan lebih lanjut karena bukan topik dari artikel ini.

Contoh kedua :

Peranan pria di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Tugas dan fungsi seorang pria di Minangkabau masing-masing memiliki peran yang disesuaikan dengan usia dan pengamalan. Tengoklah pada uraian berikut ini, yang dapat diklasifikasi sebagai berikut, yaitu :
a. Peran pria Minang sebagai kemenakan,
b. Peran pria Minang sebagai Mamak,
c. Peran pria Minang sebagai Penghulu.
Selain itu bagaimana hubungan seorang kemenakan dengan seorang Mamak dapat dilihat pada hubungannya yang sangat khas.

Pada contoh kedua, betapa berperannya seorang pria di Minangkabau. Namun sayang – tidak ada yang mengklasifikasikan bagaimana peran pria Minang sebagai seorang ayah didalam rumah tangga.
Bukankah seorang suami dalam kehidupan rumah tangga Minangkabau adalah semata sebagai tamu abadi didalam rumah tangganya, yang disebut sebagai “ urang sumando”.
Kedudukan pria serupa ini tidak dapat dipersalahkan, apabila ia berkedudukan sebagai urang sumando berikut ini, yang semestinya dijauhi, yaitu ;
· Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
· Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya.
Dikatakan juga sumando seperti, Sumando abak paja , yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.

Namun tentu wanita tentu tidak menginginkan pula apa bila sang suami melakukan peran sebagai Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah daripada di luar rumah. Secara Ekstrim Ia suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.

Sebagai kaum pria, apa pendapat Anda ? Benarkah Anda tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;

Sadalam-dalam payo hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando hinggo pintu biliak
Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando Elok hukum dek mamaknyo

Pada kehidupan dimana system kemasyarakatan telah beralih kepada sistem keluarga parental, dimana seharusnya seorang ayah harus bertindak sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, sungguhpun nanti akan menggangu tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah berpuluh tahun hidup di alam Minangkabau, maka nada yang berbau hujatan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, bukanlah sesuatu yang mesti dirisaukan.
Mari kita kembalikan peran pria dan wanita yang komplementer untuk melahirkan sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahma – penuh kasih dan sayang. Ini merupakan landasan, baik bagi hubungan kekeluarga, suami –isteri, juga hubungan antar manusia dalam bentuk silaturahmi .

Ditengah hamtaman politik dan ketidak berdayaan “ pria minang “ untuk meraih prestasi dan prestise dalam karir politik dan ekonomi dikancah nasional, maka semestinyalah kaum padusi minang mendukung keberhasilan suami dengan pengasahan ilmu pengetahuan yang luas ~ bukan semata mengenyangkan perut suami dengan makan yang lezat saja.
Saya saya sependapat dengan kesimpulan penulis “Feminisme pada masyarakat Matrilineal Minang kabau “, yang menyimpulkan sebagai berikut ;
(1) Perempuan Minang, karena telah diberikan perlakuan istimewa oleh adat, cendrung untuk bermalas-malasan, tidak memiliki sebuah visi menatap masa depan, kecuali keinginan untuk mendapatkan suami kaya dan berpangkat sehingga semakin membuat dirinya ‘larut’ dalam “kebahagiaan materi”,
(2) Seperti kategorisasi Engels bahwa ada perempuan borjuis dan proletar, maka di Minang ada juga kelas perempuan miskin (karena sukunya miskin), yang tidak memungkinkan ia untuk memperoleh hak-hak property dan kedudukan politis istimewa di masyarakat. Bagi mereka ini, pemikiran feminisme masih diperlukan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya,
(3) Karena dininabobokkan oleh hak istimewa, banyak perempuan yang merasa cukup dengan hak istimewa itu. Kenyataan ini membuat mereka nyaman berperan hanya di wilayah domestik (rumah tangga) saja, sehingga jarang yang mau berkiprah di wilayah publik. Hal ini dapat kita lihat pada minimnya perempuan Minang berkiprah di bidang politik maupun perusahaan.

Lebih kurangnya demikianlah pendapat saya untuk mencitrakan keluarga minang yang berprestasi.

Sumber : http://bundokanduang.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar