Senin, 30 November 2009



Dalam era otonomi daerah, Sumatera Barat sejak awal Januari 2001 kembali ke sistem pemerintahan nagari (institusi terendah dalam sistem pemerintahan, menggantikan desa), menyusul keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2000.

"Nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau merupakan identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik sebuah tatanan makrokosmik lebih luas. Di dalam dirinya terkandung sistem yang memenuhi persyaratan embrional sebuah sistem negara. Nagari adalah negara dalam artian miniatur, dan merupakan republik kecil yang sifatnya self contained, otonom, dan mampu membenahi diri sendiri," kata Drs Yulrizal Baharin, MSi, ahli pakar nagari.

Yang menjadi sorotan luas di kalangan masyarakat Sumatera Barat adalah, bila Indonesia sekarang dipimpin seorang perempuan, Megawati Soekarnoputri, apa tidak mungkin nagari juga dipimpin perempuan?

Pertanyaan ini sangat mendasar dan beralasan, karena dalam kaba (cerita tradisi yang memasyarakat dan tumbuh subur di Minangkabau) peran vital perempuan di Minangkabau sering diungkapkan.


Kerajaan Pararuyung
Menurut pakar sastra dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mursal Esten, pada umumnya pengungkapan permasalahan perempuan dalam kaba adalah permasalahan perempuan di dalam nagari-nagari. Peranan perempuan di dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana diungkapkan dalam kaba, besar sekali.
Bundo Kanduang

Di dalam kaba, Rancak di Labuah misalnya, digambarkan laki-laki lebih banyak merusak masyarakat yang akhirnya diselamatkan perempuan. Seolah-olah rumah tangga itu dikendalikan perempuan.

"Banyak kaba lain memperlihatkan perempuan menyelamatkan masyarakat, anak, putra-putri. Sedangkan mamak-nya atau bahkan bapaknya kadang-kadang malah tidak muncul dalam kaba," ujar Mursal.

Bahkan, dalam kaba Cindua Mato, sebagaimana dikemukakan budayawan Edy Utama, Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan Minang) digambarkan sebagai orang yang sangat berkuasa. Tidak saja karena sistem sosial matrilineal, tetapi juga punya kekuasaan memerintah. Posisi Bundo Kanduang begitu sentral dan amat menentukan.

"Dalam banyak hal, secara realitas, perempuan Minangkabau dari dulu sampai sekarang sudah banyak berperan dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan sebagainya. Bahkan, perempuan-perempuan Minang juga membuat perubahan, seperti yang dilakukan Rohana Kuddus. Hanya saja karena dominasi kaum lelaki, peran wanita tersebut tidak begitu mencuat ke permukaan," katanya.
Fungsi Politik Wanita Minang

Sementara itu, pakar politik dari Universitas Andalas, Padang, Ranny Emilia, dalam suatu diskusi menegaskan, perempuan Minangkabau memiliki fungsi politik dan telah menjalani peranan itu sejak lama.

Penelitian yang dilakukan Ranny tentang peranan politik perempuan Minangkabau semakin memperjelas bahwa meskipun laki-laki diberikan kepercayaan sebagai pemimpin politik dalam komunitas nagari, tetapi sistem politik Minangkabau tidak bersifat patrialistik, tidak disusun berdasarkan fondasi yang membedakan laki-laki dan perempuan di dalam sistem itu.

"Saya melihat susunannya atau pengaruh seseorang di dalam sistem politik Minangkabau memang tidak didasarkan jender, tetapi dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya," katanya.

Menurut Ranny, berdasarkan logika matrilineal, sangatlah mungkin perempuan dan laki-laki sama pentingnya dalam struktur sosial dan politik Minangkabau. Karena beberapa kewenangan yang diberikan kepada perempuan, merupakan dasar bagi perempuan memiliki peranan dan pengaruh dalam struktur politik Minangkabau.

Dari fakta yang ditemukan, perempuan memiliki posisi dan peranan dalam struktur politik Minangkabau. Dan sesungguhnya, partisipasi politik perempuan Minangkabau bersifat vital.

Ranny menjelaskan, peranan aktif perempuan di dalam formasi politik Minangkabau bersifat integral dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan. Karena perempuan Minangkabau, berdasarkan fakta yang ada, dapat menggunakan peranan dan politiknya secara efektif, kalau kondisi material cukup untuk melaksanakan kekuasaan tersebut secara baik.

"Jadi, di sinilah letaknya kenapa perempuan tidak bisa dipisahkan sama sekali dari fungsi dan struktur politik Minangkabau. Dan, di sini pula letaknya kenapa perempuan bisa saja secara natural mengambil alih posisi dan kekuasaan laki-laki," tegasnya.

Bahkan, dalam beberapa hal yang dijumpai oleh Dr VE Korn, demikian Ranny, sesungguhnya perempuan Minangkabau itu bisa menjadi pemimpin. Dalam perhitungan Korn, atau dalam perhitungan Belanda tahun 1930, ada 1.908 perempuan Minangkabau menganggap dirinya mamak, dan ini aneh buat orang Belanda. Karena orang Minangkabau sendiri bilang, perempuan tidak boleh menjadi mamak, perempuan tidak boleh menjadi penghulu. Akan tetapi, ternyata dia juga menemukan perempuan menjadi penghulu di Desa Pianggu.

Dengan demikian, artinya perempuan Minangkabau sangat mungkin menjadi elite politik atau menjadi pimpinan politik Minangkabau. "Jadi, seorang perempuan Minangkabau - sebagaimana laki-laki Minangkabau - kalau ia memiliki kualifikasi materi yang kuat maka ia tidak akan dapat dihalangi menjadi pemimpin politik di dalam kaumnya. Ia tidak akan dihambat karena ia perempuan. Saya kira begitulah kenyataanya dulu," katanya.

Buktinya, seperti yang dilakukan Gadih Reno Ranti. Karena mamak, ayah, dan saudara laki-lakinya yang lain tidak dapat melakukan tugas sebagai pemimpin, maka ia mengambil alih tugas kepemimpinan politik tersebut. Ia kemudian memimpin Kerajaan Pagaruyung yang telah hancur karena serangan Belanda. Dengan contoh ini, artinya perempuan memang bisa menjadi pimpinan politik yang efektif di Minangkabau.

Sumber :http://pelaminanminang.com

0 komentar:

Posting Komentar