Senin, 30 November 2009


Perjuangan
kaum perempuan dalam lintas sejarah, tidak pernah berhenti. Perempuan
selalu melakukan pergerakan-pergerakan yang sangat signifikan terhadap
pemberdayaan diri dan kaumnya. Di Minangkabau pun, sebagai daerah yang
memiliki konsep lokal wanita sebagai Bundo Kanduang juga mempunyai
sejarah pergerakan pemberdayaan perempuan. Setidaknya, dibuktikan oleh
pergerakan Rohana Kudus dalam lintas pergerakan perempuan masa lalu di
Minangkabau.
Rohana Kudus merupakan perempuan Minangkabau yang mencoba menaburkan
benih "pembebasan" perempuan dari teologi bias gender.
Pergerakan-pergerakan pemberdayaan perempuan yang dilakukan Rohana
Kudus adalah simbol manifestasi perjuangan kaum perempuan dari realita
yang tidak seimbang memandang perempuan itu sendiri.
Perempuan, sering termarjinalkan disebabkan oleh dua faktor. Pertama,
akibat konstruski budaya. Artinya perempuan dipetakan atau dipolakan
sebagai kaum yang memiliki domain (ranah) kerja yang sentralistiknya
domestik yang sering dianekdokkan dengan sumur, dapur, kasur. Kedua,
akibat pemberdayaan perempuan yang belum merata. Pemberdayaan ini
sangat terkait dengan pendidikan, sebab keterbelakangan perempuan
dominan disebabkan oleh rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh kaum
perempuan tersebut. Dalam perspektif masyarakat "kontrusi gender"
pendidikan bagi perempuan mempunyai katerbatasan, mengingat pekerjaan
perempuan itu sudah jelas, sebagai "pelayan rumah tangga". Dari dimensi
bias gender ini, maka pendidikan diprioritaskan kepada anak laki-laki
ketimbang anak perempuan.


Rohana Kudus lahir di Koto Gadang Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1884, dari ibunya yang bernama Kiam dan ayahnya bernama Rasjad Maharaja Soetan. Ia adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari penyair terkenal Khairil Anwar. Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.

Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai Pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar Abjad Arab, Latin dan Arab Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan Pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.

Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali kekampung dan menikah pada usia 24 Tahun dengan Abdul Kudus yang berfrofesi sebagai Notaris, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama “Sekolah Kerajinan Amai Setia”. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung menderanya seiring dengan keinginannnya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.

Selain berkiprah disekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping itu juga Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.

Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana. Selain menghasilkan berbagai kerajianan, Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.

Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Sumatera Barat yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.

Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberpa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan disekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.

Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”. Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal muritnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakanm mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Cina.

Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar disekolah Dharma Putra. Disekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru disini adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.

Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.

Dmikianlah Rohana Kuddus mengahabiskan 88 tahun umurnya ( Rohana meninggal pada 17 Agustus 1972) dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana, namun sayang sekali Rohana kalah populer dibandingkan Kartini yang hanya berkorespondensi. Walaupun berbagai penghargaan telah diberikan untuknya, seperti Wartawati Pertama Indonesia (1974), Perintis pers Indonesia (1987) dan Bintang Jasa Utama (2008), namun semua itu belum membuat telinga kita terbiasa dengan nama Rohana. Jadi, Selamat Hari Kartini, Hari Rohana, Hari yang lainnya, what ever….

Sumber :http://ranah-minang.com dan http://rinyyunita.wordpress.com



Dalam era otonomi daerah, Sumatera Barat sejak awal Januari 2001 kembali ke sistem pemerintahan nagari (institusi terendah dalam sistem pemerintahan, menggantikan desa), menyusul keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2000.

"Nagari dalam tradisi masyarakat Minangkabau merupakan identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik sebuah tatanan makrokosmik lebih luas. Di dalam dirinya terkandung sistem yang memenuhi persyaratan embrional sebuah sistem negara. Nagari adalah negara dalam artian miniatur, dan merupakan republik kecil yang sifatnya self contained, otonom, dan mampu membenahi diri sendiri," kata Drs Yulrizal Baharin, MSi, ahli pakar nagari.

Yang menjadi sorotan luas di kalangan masyarakat Sumatera Barat adalah, bila Indonesia sekarang dipimpin seorang perempuan, Megawati Soekarnoputri, apa tidak mungkin nagari juga dipimpin perempuan?

Pertanyaan ini sangat mendasar dan beralasan, karena dalam kaba (cerita tradisi yang memasyarakat dan tumbuh subur di Minangkabau) peran vital perempuan di Minangkabau sering diungkapkan.


Kerajaan Pararuyung
Menurut pakar sastra dari Universitas Negeri Padang, Prof Dr Mursal Esten, pada umumnya pengungkapan permasalahan perempuan dalam kaba adalah permasalahan perempuan di dalam nagari-nagari. Peranan perempuan di dalam masyarakat Minangkabau, sebagaimana diungkapkan dalam kaba, besar sekali.
Bundo Kanduang

Di dalam kaba, Rancak di Labuah misalnya, digambarkan laki-laki lebih banyak merusak masyarakat yang akhirnya diselamatkan perempuan. Seolah-olah rumah tangga itu dikendalikan perempuan.

"Banyak kaba lain memperlihatkan perempuan menyelamatkan masyarakat, anak, putra-putri. Sedangkan mamak-nya atau bahkan bapaknya kadang-kadang malah tidak muncul dalam kaba," ujar Mursal.

Bahkan, dalam kaba Cindua Mato, sebagaimana dikemukakan budayawan Edy Utama, Bundo Kanduang (sebutan untuk perempuan Minang) digambarkan sebagai orang yang sangat berkuasa. Tidak saja karena sistem sosial matrilineal, tetapi juga punya kekuasaan memerintah. Posisi Bundo Kanduang begitu sentral dan amat menentukan.

"Dalam banyak hal, secara realitas, perempuan Minangkabau dari dulu sampai sekarang sudah banyak berperan dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, politik, dan sebagainya. Bahkan, perempuan-perempuan Minang juga membuat perubahan, seperti yang dilakukan Rohana Kuddus. Hanya saja karena dominasi kaum lelaki, peran wanita tersebut tidak begitu mencuat ke permukaan," katanya.
Fungsi Politik Wanita Minang

Sementara itu, pakar politik dari Universitas Andalas, Padang, Ranny Emilia, dalam suatu diskusi menegaskan, perempuan Minangkabau memiliki fungsi politik dan telah menjalani peranan itu sejak lama.

Penelitian yang dilakukan Ranny tentang peranan politik perempuan Minangkabau semakin memperjelas bahwa meskipun laki-laki diberikan kepercayaan sebagai pemimpin politik dalam komunitas nagari, tetapi sistem politik Minangkabau tidak bersifat patrialistik, tidak disusun berdasarkan fondasi yang membedakan laki-laki dan perempuan di dalam sistem itu.

"Saya melihat susunannya atau pengaruh seseorang di dalam sistem politik Minangkabau memang tidak didasarkan jender, tetapi dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya," katanya.

Menurut Ranny, berdasarkan logika matrilineal, sangatlah mungkin perempuan dan laki-laki sama pentingnya dalam struktur sosial dan politik Minangkabau. Karena beberapa kewenangan yang diberikan kepada perempuan, merupakan dasar bagi perempuan memiliki peranan dan pengaruh dalam struktur politik Minangkabau.

Dari fakta yang ditemukan, perempuan memiliki posisi dan peranan dalam struktur politik Minangkabau. Dan sesungguhnya, partisipasi politik perempuan Minangkabau bersifat vital.

Ranny menjelaskan, peranan aktif perempuan di dalam formasi politik Minangkabau bersifat integral dalam setiap proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan. Karena perempuan Minangkabau, berdasarkan fakta yang ada, dapat menggunakan peranan dan politiknya secara efektif, kalau kondisi material cukup untuk melaksanakan kekuasaan tersebut secara baik.

"Jadi, di sinilah letaknya kenapa perempuan tidak bisa dipisahkan sama sekali dari fungsi dan struktur politik Minangkabau. Dan, di sini pula letaknya kenapa perempuan bisa saja secara natural mengambil alih posisi dan kekuasaan laki-laki," tegasnya.

Bahkan, dalam beberapa hal yang dijumpai oleh Dr VE Korn, demikian Ranny, sesungguhnya perempuan Minangkabau itu bisa menjadi pemimpin. Dalam perhitungan Korn, atau dalam perhitungan Belanda tahun 1930, ada 1.908 perempuan Minangkabau menganggap dirinya mamak, dan ini aneh buat orang Belanda. Karena orang Minangkabau sendiri bilang, perempuan tidak boleh menjadi mamak, perempuan tidak boleh menjadi penghulu. Akan tetapi, ternyata dia juga menemukan perempuan menjadi penghulu di Desa Pianggu.

Dengan demikian, artinya perempuan Minangkabau sangat mungkin menjadi elite politik atau menjadi pimpinan politik Minangkabau. "Jadi, seorang perempuan Minangkabau - sebagaimana laki-laki Minangkabau - kalau ia memiliki kualifikasi materi yang kuat maka ia tidak akan dapat dihalangi menjadi pemimpin politik di dalam kaumnya. Ia tidak akan dihambat karena ia perempuan. Saya kira begitulah kenyataanya dulu," katanya.

Buktinya, seperti yang dilakukan Gadih Reno Ranti. Karena mamak, ayah, dan saudara laki-lakinya yang lain tidak dapat melakukan tugas sebagai pemimpin, maka ia mengambil alih tugas kepemimpinan politik tersebut. Ia kemudian memimpin Kerajaan Pagaruyung yang telah hancur karena serangan Belanda. Dengan contoh ini, artinya perempuan memang bisa menjadi pimpinan politik yang efektif di Minangkabau.

Sumber :http://pelaminanminang.com

Jumat, 27 November 2009

Gadis Minang


Dalam Adat dan Budaya :

Artikel ini dibuka dengan suatu pepatah yang menunjukkan peran yang diemban oleh wanita minang, yang berbunyi :
Bundo kanduang
Limpapeh rumah nan gadang
Amban puruak pegangan kunci
Amban puruak aluang bunian
Pusek Jalo kumpulan tali
Hiasan dalam nagari

Sedangkan peran yang diberikan kepada Pria Minang, ditunjukkan pada pepatah yang berbunyi :
Tagak badunsanak mamaga dunsanak
Tagak basuku mamaga suku
Tagak ba kampuang mamaga kampuang
Tagak ba nagari mamaga nagari

Kedua pepatah ini tidak menunjukkan perbedaan, diskriminasi, apalagi dominasi wanita terhadap Pria sebagaimana yang diduga oleh kebanyakan orang minang sendiri atau sebaliknya. Kedudukan Pria dan wanita didalam adat sama. Pria Minang merupakan komplemen terhadap wanita dalam pengertian bahwa hakekat dan spesifikasi Pria saling komplemen pula (mengisi) satu sama lain.

Realita kehidupan wanita Minang dalam keluarga/kekerabatan serta masyarakat di lambangkan dalam peran Bundokanduang. Bundo kanduang sebenarnya adalah sebagai wanita utama. Apabila dalam suatu kekerabatan atau tingkatan masih terdapat seorang ibu dari penghulu yang masih hidup, maka dialah yang disebut Bundo Kanduang, atau mandeh atau niniek. Dialah wanita utama di dalam kaum itu.
Wanita yang disebut bundo kanduang dalam kaumnya, mempunyai kekuasaan lebih tinggi dari seorang penghulu karena dia setingkat ibu, atau ibu penghulu itu betul. Dia dapat menegur penghulu itu apabila si penghulu melakukan suatu kekeliruan. Wanita-wanita setingkat mande di bawahnya, apabila dia dianggap lebih pandai, bijak dan baik, diapun sering dijadikan wanita utama di dalam kaum. Secara implisit tampaknya, wanita utama di dalam suatu kaum, adalah semacam badan pengawasan atau lembaga kontrol dari apa yang dilakukan seorang penghulu.


Dalam Agama :
Adat bersendi syara` syara` bersendi kitabullah, maka berdasarkan kompilasi hukum, bila ingin dikatakan sebagai wanita Minang sejati, dimana seseorang yang status suku Minangkabu – sudah dipastikan konotasinya beragama Islam, maka masalah peran wanita – keperempuan atau peran padusi sewajarnya aturan Islam yang harus dilaksanakan.
QS Ab – Nisaa 1 : “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan yang telah menciptakan kamu dari seorang pribadi dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan pria dan wanita yang banyak, Dan bertakwalah kepada ALLAH yang dengan (mempergunakan) nama – Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selaku menjaga dan mengawasi kami”.
Agama Islam menyetarakan kedudukan antara Pria dan wanita. Dalam masalah pendidikan, Allah dan rasulNya menetapkan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu. Dalam masalah amalan ibadah, Allah membalasi segala amalan baik – sama antara Pria dan wanita, tidak dibedakan.
Dalam masalah fisik, Allah sudah menetapkan, dengan firmanNya “Tidaklah sama antara lelaki dan wanita”. Penciptaan manusia selanjutnya setelah Adam, lebih jauh dijelaskan secara iptek, berdasarkan ilmu genetika yang mudah dipahami dan dicerna oleh manusia. Benarkah , bila dikatakan bahwa isteri Adam diciptakan dari tulang rusuknya Adam ? Setelah itu keduanya mengembangkan keturunan mereka dan beranak pinak melalui proses pembuahan, yang pula berlaku untuk makhluk lain seperti tumbuhan dan hewan.
Saling komplementer antara pria dan wanita digambarkan secara cantik oleh penyair Khalil Gibran, bahwa wanita terbuat bagian tubuh peria, bukan dari kepalanya untuk menjadi atasan pria, bukan dari kaki untuk menjadi bawahannya, melain dari tulang rusuk pria untuk menjadi pendamping hidupnya.

Bagaimanakah dalam masalah tanggung jawab menafkahi suatu rumah tangga ? Dalam masalah tangggung jawab nafkah, Allah telah memberikan kewajiban dan tanggung jawab dalam menafkahi rumah tangga, yaitu berada dipundak Pria. Pria wajib menafkahi isterinya lahir dan bathin, menurut hukum perkawinan agam Islam.

Namun bagaimanakah realita adat dan budaya minang tentang judul artikel ini ? Bisakan Pria dan Wanita Minang saling komplementer ?
Komplementer menunjukkan bagaimana Pria dan wanita bisa saling mengisi baik bidang sehari-hari atau kehidupan rumah tangga. Juga berperan dibidang sosial, bidang keilmuan, sebagaimana yang diharapkan oleh para aktivis wanita saat ini . Kelompok ini gencar memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita. Aliran dan faham yang mereka anut kemudian dikenal dengan sebutan “kaum feminisme”. Sesungguhnya feminisme itu ada beraliran radikal, marxis, liberal, moderat, atau feminisme yang menyandarkan diri pada hermeunitika keagamaan. Feminisme adalah bagian dari pola kehidupan moderen yang tengah mendunia (global style).

Bagi saya jika feminisme itu memang ada, maka semestinya tetap beranjak dari nilai-nilai agama dan cultural, bukan meniru secara membabi buta sebagaimana yang terjadi di negara-negara liberal yang kemudian diadopsi secara utuh oleh wanita Indonesia. ?

Sebagai wanita minang, apa yang diharapkan dengan saling berkeseimbangan dan saling melengkapi antara pria dan wanita agar judul artikel ini dapat direalisasikan ?

Contoh pertama ;

Dalam agama islam, masalah warisan, meski secara dhahir wanita mendapat kurang dari bagian lelaki, tetapi kalau dihitung-hitung, justru wanitalah mendapat lebih istimewa ketimbang lelaki. Berbeda halnya dengan penguasaan harta pusaka yang berada pada tangan wanita, menurut aturan adat minang. Contoh masalah satu ini tidak perlu diuraikan lebih lanjut karena bukan topik dari artikel ini.

Contoh kedua :

Peranan pria di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Tugas dan fungsi seorang pria di Minangkabau masing-masing memiliki peran yang disesuaikan dengan usia dan pengamalan. Tengoklah pada uraian berikut ini, yang dapat diklasifikasi sebagai berikut, yaitu :
a. Peran pria Minang sebagai kemenakan,
b. Peran pria Minang sebagai Mamak,
c. Peran pria Minang sebagai Penghulu.
Selain itu bagaimana hubungan seorang kemenakan dengan seorang Mamak dapat dilihat pada hubungannya yang sangat khas.

Pada contoh kedua, betapa berperannya seorang pria di Minangkabau. Namun sayang – tidak ada yang mengklasifikasikan bagaimana peran pria Minang sebagai seorang ayah didalam rumah tangga.
Bukankah seorang suami dalam kehidupan rumah tangga Minangkabau adalah semata sebagai tamu abadi didalam rumah tangganya, yang disebut sebagai “ urang sumando”.
Kedudukan pria serupa ini tidak dapat dipersalahkan, apabila ia berkedudukan sebagai urang sumando berikut ini, yang semestinya dijauhi, yaitu ;
· Sumando kacang miang. Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan. Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.
· Sumando lapik buruk. Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya.
Dikatakan juga sumando seperti, Sumando abak paja , yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi.

Namun tentu wanita tentu tidak menginginkan pula apa bila sang suami melakukan peran sebagai Sumando kutu dapua. Sumando seperti ini banyak di rumah daripada di luar rumah. Secara Ekstrim Ia suka melakukan pekerjaan yang hanya pantas dilakukan oleh wanita, seperti memasak, mencuci piring, menumbuk lada, menggendong anak dan lain-lain.

Sebagai kaum pria, apa pendapat Anda ? Benarkah Anda tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya, sebagaimana yang selalu diungkapkan dalam pepatah petitih;

Sadalam-dalam payo hinggo dado itiak
Sakuaso-kuaso urang sumando hinggo pintu biliak
Sebaliknya, peranan sumando yang baik dikatakan;
Rancak rumah dek sumando Elok hukum dek mamaknyo

Pada kehidupan dimana system kemasyarakatan telah beralih kepada sistem keluarga parental, dimana seharusnya seorang ayah harus bertindak sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, sungguhpun nanti akan menggangu tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah berpuluh tahun hidup di alam Minangkabau, maka nada yang berbau hujatan sebagai “Rang Sumando Gadang Malendo”, bukanlah sesuatu yang mesti dirisaukan.
Mari kita kembalikan peran pria dan wanita yang komplementer untuk melahirkan sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahma – penuh kasih dan sayang. Ini merupakan landasan, baik bagi hubungan kekeluarga, suami –isteri, juga hubungan antar manusia dalam bentuk silaturahmi .

Ditengah hamtaman politik dan ketidak berdayaan “ pria minang “ untuk meraih prestasi dan prestise dalam karir politik dan ekonomi dikancah nasional, maka semestinyalah kaum padusi minang mendukung keberhasilan suami dengan pengasahan ilmu pengetahuan yang luas ~ bukan semata mengenyangkan perut suami dengan makan yang lezat saja.
Saya saya sependapat dengan kesimpulan penulis “Feminisme pada masyarakat Matrilineal Minang kabau “, yang menyimpulkan sebagai berikut ;
(1) Perempuan Minang, karena telah diberikan perlakuan istimewa oleh adat, cendrung untuk bermalas-malasan, tidak memiliki sebuah visi menatap masa depan, kecuali keinginan untuk mendapatkan suami kaya dan berpangkat sehingga semakin membuat dirinya ‘larut’ dalam “kebahagiaan materi”,
(2) Seperti kategorisasi Engels bahwa ada perempuan borjuis dan proletar, maka di Minang ada juga kelas perempuan miskin (karena sukunya miskin), yang tidak memungkinkan ia untuk memperoleh hak-hak property dan kedudukan politis istimewa di masyarakat. Bagi mereka ini, pemikiran feminisme masih diperlukan untuk meningkatkan harkat dan martabatnya,
(3) Karena dininabobokkan oleh hak istimewa, banyak perempuan yang merasa cukup dengan hak istimewa itu. Kenyataan ini membuat mereka nyaman berperan hanya di wilayah domestik (rumah tangga) saja, sehingga jarang yang mau berkiprah di wilayah publik. Hal ini dapat kita lihat pada minimnya perempuan Minang berkiprah di bidang politik maupun perusahaan.

Lebih kurangnya demikianlah pendapat saya untuk mencitrakan keluarga minang yang berprestasi.

Sumber : http://bundokanduang.wordpress.com

;;